…diplomasi mencakup unsur seni dan keahlian yang keduanya menyatu membentuk kepiawaian untuk meyakinkan kepada pihak lain sehingga pihak lain itu diharapkan dapat bersikap sesuai sasaran yang telah ditetapkan sesuai kepentingan nasionalnya. Diplomasi berbeda dengan diseminasi informasi meskipun kadang-kadang diplomasi menggunakan diseminasi informasi sebagai alat.
…sesuai zamannya, tata krama diplomasi berevolusi mengalami pergeseran. Sebuah perilaku yang menurut diplomasi klasik dianggap ‘undiplomatic/tidak diplomatik’ sekarang dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan dapat berfungsi efektif. Diplomat pada prinsipnya bekerja dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Dewasa ini semua negara berlomba menggunakan mesin diplomasi untuk membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat negara pengirimnya maka sebagian besar diplomat menerapkan rumus 1+(4+2), yang artinya cukup alokasi satu hari untuk kegiatan seremonial, sedangkan 4 hari dan bila perlu ditambah 2 hari libur untuk kegiatan-kegiatan hands on guna meningkatkan ekonomi dan bisnis serta perlindungan warga…
Kata Pengantar v
Prakata Penulis ix
Daftar Isi xiii
Prolog xv
Bab 1 Mengenal Tugas Perwakilan Di Luar Negeri 1
Bab 2 Runtuhnya Negara Adi Daya Uni Soviet dan Dampaknya 15
Bab 3 Membuka Kedutaan Besar Di Luar Negeri 35
Bab 4 Kunjungan Presiden Ke Luar Negeri 41
Bab 5 Kudeta 55
Bab 6 Diplomasi Bilateral, Diplimasi Multilateral, dan Diplomasi Politik 71
Bab 7 Manajemen Krisis 89
Bab 8 Melindungi Warga Negara Indonesia Di Luar Negeri 101
Bab 9 Hubungan Diplomatik Termuda: Indonesia-Barbados 113
Bab 10 Diplomasi Sawit: Kolombia Menjadi Anggota Council of Palm Oil Producing Countries 121
Bab 11 Memelihara Budaya Indonesia Di Luar Negeri 133
Bab 12 Legasi - Bebasa Visa 139
Bab 13 Globalisasi - Humanisme Digital dan Oksimoron 149
Bab 14 Diplomasi Masa Pandemi 163
Epilog - Evolusi Tatanan Dunia 171
Daftar Pustaka 175
Singkatan 179
Glosarium 181
Biodata Singkat Penulis 183
DIPLOMASI TIGA ZAMAN:
Pengalaman 36 tahun dalam Diplomasi Bilateral dan Multilateral
(Priyo Iswanto, Nov,23; UMM Press)
Indonesia menjadi salah satu negara terdepan dalam penggalangan kemerdekaan Palestina, perdamaian Ukraina dan Isu-isu politik global lain. Tentu, demikian ini tidak lepas dari sokongan diplomasi yang andal ari Menteri luar negeri, Retno Marsudi dan tim kementrian Luar negeri.
Tapi di sisi lain, selain jumlah diplomat yang terbatas, jam terbang dan lain-lain, baru ada 24 orang Indonesia yang menduduki posisi dari 240 organisasi internasional yang diikuti pemerintah. Padahal, ada lebih dari 1 Triliun anggaran iuran untuk bergabung di berbagai organisasi tersebut.
Buku Diplomasi Tiga Zaman karya Prio Iswanto ini menjadi guidance bagaimana menjadi diplomat hingga duta besar yang andal. Atau, saya lebih senang menyebut buku ini sebagai best practice (praktik terbaik) gaya diplomasi bangsa ini.
Buku yang berisi 18 topik ini padukan teori dan praktik menjadi diplomat hingga duta besar berdasar pengalaman penulis selama 36 tahun di Kementrian Luar Negeri.
Mungkin orang bertanya, apa maksud tiga zaman dalam buku ini? Tiga zaman yang dimaksud penulis bukanlah era orde baru, reformasi atau orde lama. Namun, tiga zaman besar dunia.
Pertama, era Bipolar di mana terjadi perang dingin antara blok Timur dan Blok barat. Kedua Unipolar dengan dominasi Amerika Serikat yang menurutnya mengarah pada globalisasi. Ketiga, era Multipolar di mana Amerika Serikat mulai mengendur dan memunculkan peran negara lain. Seperti Tiongkok, Rusia, Brazil, Indonesia, Turki, dll.
Diplomat tertentu harus menyesuaikan dan beradaptasi dengan tiga zaman berbeda ini. Diplomasi adalah the art of conducting the intercourse with other nations each other.” Seni melaksanakan hubungan antar bangsa.
Hierarki diplomat sampai puncak karir tidaklah mudah. Mulai dari bawah ke atas, yaitu atase, sekertaris ketiga, sekertaris kedua, sekertaris pertama, counselo, minister, dan duta besar.
Buku Diplomasi Tiga Zaman menguraikan prinsip – prinsip diplomasi. Prinsip pertama dalam diplomasi adalah tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah.
Misalnya investasi di Indonesia di sebuah negara dan pembawa beasiswa ikut memudahkan jalannya diplomasi. Prinsip lainnya adalah tingkat kesuiltan diplomasi berbeda-beda di setiap negara. Lebih lanjut, suksesnya diplomasi ditentukan kualitas pelakunya. Para diplomat hendaknya sadar bahwa dalam diplomasi kadang ada tekanan (hal 79).
Bagi Priyo, kesuksesan diplomasi bergantung pada jejaring yang kuat dan pendekatan kultural. Misalnya, melalui penguasaan Bahasa dan memahami psikologi Masyarakat setempat akan memudahkan komunikasi dan sangat bermanfaat untuk keberhasilan diplomasi. Selain itu, kesuksesan diplomasi bergantung pada penguasaan terhadap substansi persoalan, kemampuan komunikasi, pemahaman terhadap posisi dasar pihak lain, dan seni meyakinkan pihak lain (hal. 74).
Priyo juga memberi contoh diplomasi dengan Uzbekistan. Ia berhasil mengalihkan kedutaan negara tersebut ke Jakarta pada 1996 silam.
Semula setelah Merdeka, Uzbekistan ingin basis kedutaan mereka di Malaysia. Priyo menyarankan secara tegas kepindahan Indonesia dengan berbagai alasan objektif.
Pertama, Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara sehingga belum tentu Indonesia bersedia dirangkap kedubes asing di luar Jakarta. Kedua, Jakarta kota diplomatik dengan keberadaan sekertariat ASEAN. Ketiga, Indonesia sudah membuka kedutaan besar di Tashkent sejak 1994. Keempat, hubungan ekonomi yang baik. Kelima, peran Indonesia di regional dan nasional. Keenam, hubungan baik presiden Indonesia dan presiden Uzbekistan. Diplomasi ini akhirnya berhasil.
Buku ini juga membahas bagaimana kunjungan kepala negara ke negara lain merupakan hal yang bermakna dan penting. Hal itu merupakan kebanggaan dan dianggap keberhasilan besar pada level excellent dalam diplomasi. Setidaknya ada empat jenis kunjungan kepala negara, yaitu state visit, official visit, working visit dan private visit (Hal. 42).
Pengalaman lain yang ditulis adalah bagaimana seorang duta besar memiliki ilmu manajemen krisis. Priyo merinci detik-detik kudeta di berbagai negara, seperi Rusia (2011), Ekuador (1991) dan Venezuela (2002).
Dalam situasi demikian, seorang duta besar harus dan diplomat harus cermat memantau perkembangan sembari melaporkannya ke Jakarta. Selain itu , dia harus memberi masukan pemerintah untuk mengambil langkah sebagai perwakilan, misalnya tidak mendukung pemerintahan yang baru atau memberi selamat .
Hal menarik lain adalah pengalaman di rampok di Venezuela. Umumnya orang dirampok di sana dibunuh untuk menghilangkan jejak, namun Priyo berhasil meyakinkan bahwa dirinya orang Indonesia dan Teman Hugo Chavez, presiden Venezuela kala itu
Akhirnya meski harus mengeluarkan uang dan dirampas jam tangannya. Meski harus mengeluarkan uang, ia berhasil lepas dari cengkraman perampok. Ini karena kemampuan komunikasi dan diplomasinya yang kering sampai tidak dibunuh dua perampok yang membawanya dengan taksi. Buku ini seolah hidup dengan teori dan pengalaman yang kaya serta menggambarkan pahit getir kehidupan menjadi duta besar dan diplomat. Dengan buku ini, pembaca menjadi tahu bahwa proses diplomasi tidak instan.
Penulisnya, sebagaimana yang saya kenal adalah seorang pribadi menarik yang memiliki background teori yang mumpuni. Priyo berkarir selama 36 tahun hingga jadi duta besar. Karena itu, ini adalah bacaan wajib calon diplomat atau mereka yang ingin tahu seluk beluk diplomasi. Buku ini adalah ilmu yang mandarah daging dalam kepribadian penulis.
Satu catatan penting: Buku ini nyaris tanpa kritik kepada pihak luar maupun dalam negeri (Indonesia) atas berbagai kekurangan dan kelemannya dalam diplomasi. Selamat Membaca!!
Oleh: M Noor Harisudin
Direktur World Muslem Studies Center dan Guru Besar UIN Kiyai Haji Ahmad Siddiq Jember